Negara menuntut menghadirkan keadilan sosial ditengah benturan kepentingan Korporasi dan Masyarakat. Di dua kontradiksi yang saling mendominasi hadir juga kepentingan negara. Pada titik ini Relasi Negara, Korporasi dan Masyarakat selalu di Uji pada titik persinggungan kepentingan.
Pemerintah pusat mempunyai kewenangan memberikan Izin ekplorasi kepada perusahaan untuk mengambil data cadangan nikel dan menghitung agar mengetahui nilai ekonimisnya. Namun Perusahaan yang memiliki Izin Eksplorasi tidak serta merta langsung melakukan eksplorasi tanpa perlu persetujuan masyarakat. Persetujuan masyarakat penting, karena masyarakat adalah tujuan akhir dari pengelolaan sumber daya alam.
Undang-undang dasar tahun 1945, Pasal 33 ayat 3, menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” ini artinya konstitusi mensyaratkan, sumber daya bisa dikelolah sepanjang bermanfaat untuk rakyat.
Dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 134 ayat (1): Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai ketentuan peraturan-perundang-undangan. Pada Pasal 135: Pemegang IUP harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, keberlangsungan kehidupan masyarakat, dan budaya lokal.
Kedua dasar hukum diatas, telah menggambarkan secara umum, bahwa kepentingan rakyat adalah prioritas utama dalam pengelolaan sumber daya alam.
Ruang Hidup Vs Janji Kesejateraan
Kehadiran perusahaan di desa bobo, memunculkan beragam reaksi dan faksi, ada yang pro Investasi dan ada yang menolak investasi. Keduanya saling kontra narasi dalam ruang publik untuk saling meyakinkan apa yang sedang diperjuangkan. Kanal-kanal media digital pun tak luput dijadikan sarana ekspresi dari kedua faksi tersebut.
Pertanyaannya, sudahkah dari kedua faksi ini menjelaskan secara logis kenapa menerima ataupun kenapa harus menolak investasi?
Kelompak kontra investasi, memiliki cukup alasan logis menolak investasi, karena menilai Investasi merampas Ruang Hidup Masyarakat. Tumpuan argumentasi mereka adalah gambaran pengalaman beberapa desa yang syarat konflik kepentingan ketika suatu industri pertambangan beroperasi.
Sedangkan kelompok pro membawa visi investasi, tentang kesejateraan ekonomi jika perusahaan di izinkan beroperasi. Namun mereka belum menjelaskan bahwa kesejateraan secara ekonomi dari industri pertambangan, memiliki hubungan langsung dengan penggundulan hutan dan pengerukan tanah, yang berpotensi merusak lingkungan. hubungan ini belum mampu dijelaskan secara rasional.
Kita mungkin saja beralasan nanti ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang didalamnya terdapat Dokumen Pemantauan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. Namun kita juga harus mengajukan pertanyaan dan merenungkan, bukankah banyak industri pertambangan yang memiliki Amdal, namun justru mencemari lingkungan?
Dalam kasus ini Negara harus hadir mengurai benang kusut konflik kepentingan, antara Perusahaan, Kelompok Pro dan Kelompok Kontra. Semua kelompak sedang membayangi negara hadir mendistribusikan keadilan sosial. Tentunya negara akan menggunakan legitimasi perudang-undangan untuk menyelesaikan masalah ini, agar semua pihak tidak terabaikan. Namun satu hal yang kita inginkan Negara Hadir dengan keadilan subtansial bukan hanya sekedar kepatuhan formal terhadap aturan yang kaku.
Oleh : Rodi Sipondak (Alumnus : Teknik Pertambangan Ummu Ternate dan Magister Ilmu Lingkungan ITY)

