Mantan Ketua Cabang GMKI Ternate | Kepala SMA Peduli Bangsa Wooi
Apa yang mendorong pergerakan kaum mudah? Ketika kita meriview perjalanan panjang bergerak satu hal yang pasti yaitu tak terlepas dari referensi umum bahwa perayaan dalam pengenangan pergerakan kaum muda pada masa budi utomo hingga deklarasi 28 oktober 1928, deklarasi ini sekaligus sebagai penanda persatuan kaum muda menuju haluan nasionalisme, dengan meninggalakan segala kepentingan kelompok dan daerah asal yang saat itu kental dikenal dengan “Jong”. Jong ambon, jong selebritis, jong batak dan lain sebagainya. Dalam kesadaran penuh tanpa ada tekanan bahwa jika ini tidak dilakukan maka cita-cita hidup bebas sebagai insan merdeka hanyala akan menjadi cemilan saat bercanda. Situasi saat itu hanya ada satu pilihan yaitu merdeka atau mati, karena itu serpihan semangat itu harus dikumpulkan dalam satu wada yang pada akhirnya mampu mengoncang dunia melalui tindakan menembus ruang ketakutan dan mengalahkan egosentris kedaerahan.
Pemuda pasca deklarasi.
Sumbangan kaum muda lewat sumpah 28 oktober 1928 itu telah sukses mengantarkan bangsa ini menuju pada cita-cita kemerdekaan 17 agustus 1945. 17 tahun berhasil menggalang semua kekuatan yang ada dibangsa ini dan mencapai keinginan bersama, hidup bebas dengan kemandirian hasil jeripaya, meskipun harus melewati dara dan air mata korban jiwa harta dan nyawa. Pasca Indonesia merdeka kaum muda tak juga tinggal diam mereka harus menghadapi situasi yaitu kaum muda pada posisi pada era pengisian pembangunan. Ada semacam kegalauan dan kehausan untuk bagaimana mengisi dan berperan penting dalam mengadopsi semangat kaum muda sebelumnya, karena itu banyak sekali organisasi pemuda yang muncul saat itu sehingga ada kesadaran dan keinginan untuk membentuk kaum muda dalam satu wada menuju keindonesiaan, munculah gagasan atau ide untuk membuat induk dari gerakan kaum muda saat itu yang di motori oleh lima organisasi besar yakni (HMI, PMKRI, GMKI,PMII DAN GMNI) yang selanjutnya disebut organisasi cipayung dimana duo pentolan yang terkenal saat itu adalah Akbar Tanjung dan David Napitupulu dengan satu tekad keinginan bahwa wadah ini menjadi penampung bagi kader-kader terbaik dari semua organisasi untuk mengisi dan mengawal pembangunan pasca kemerdekaan. Pada tanggal 23 Juli 1973 terbentuklah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dengan ketua pertamanya adalah David Napitupulu. Dan perayaan sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1974 kongres KNPI pertama di selenggarakan. Puncak pengwalan kaum mudah lalu meletup pada bulai mei 1998 dimana melawan dan menjatuhkan pemerintahan yang korup diktator dan otoriter. Semua rentetan pergerakan dan perjuangan ini harus kita maknai bahwa menjadi kader oraganisasi kaum muda tak hanya cerita nostalgia bahagia dalam semangat kebangggan yang terus didengungkan tapi dengan hadirnya sumpah pemuda saat ini yang dibesok hari akan kita rayakan akan mengguga hati dan nurani kita untuk bersumpah akan meletakan peradaban yang baik dan berkelanjutan bagi generasi berikutnya. Karena hanya dengan itu tanggung jawab pemuda dalam merespon kekinian Indonesia yang terus kehilangan keadaban sebagaimana yang dicita-citakan oleh para Founding Ftaher kita satu bangsa satu tekad menuju Indonesia yang berprikemanusiaan dan berperadaban. Dengung Kaum mudah saat ini terjebak pada koptasi kepentingan kelompoknya alih-alih menjadi wada juang bagi generasi mudah yang terus mendeorbit untuk mengisi pembangunan yang berkelanjutan dimana kenyataan saat ini KNPI telah menjadi dualisme kepemimpinan di aras nasional hinga daerah. Dan yang lebih ekstrim lagi organnisasi ini seolah-olah menjadi penjaga kekuasaan atau pagar betis.sebab tak lagi menampilkan kekritisannya dalam mengawal kepentingan keindonesiaan yang meliputi sabang sampai merauke. Padahal ada banyak persoalan yang melilit bangsa ini mulai dari ancaman disntegrasi bangsa, radikalisme yang marak,Konflik papua hingga pembentukan perubahan undang-undang KPK dan masih banyak lagi yang tentunya menuntut kita semua untuk tidak hanya sekedar merefleksikan sumpa pemuda sebagai perayaan yang wajib namun melupakan keluhuran nilai juang dan cita-cita besar bagi bangsa ini
Merespon Pembentukan Wadah berkumpul .
Beberapa hari yang lalu berita berseliweran dimedia mainstream online beberapa sumber berita menayangkan ada sejumlah protes dari beberapa pihak atau pucuk pimpinan organisasi diantaranya GMKI dan GMNI soal sorotan ketua KNPI Halsel yang dinilai tak lagi mampu mewadahi pergerakan kaum mudah di Halmahera Selatan yang mampu menjawab gumul juang bagi kebaikan khalayak banyak dengan dorongan pikuk dinamika sosial maupun internal organisasi itu sendiri. Di lain sisi beberapa komunitas yang ancang rancang untuk membentuk suatu perkumpulan kedaerahan yang berlafaskan semangat kedaerahan dengan kultur tertentu mulai terendus bermunculan ke publik sebagai bentuk medan juang dalam mewakili kepentingan secara eksplisit sebut saja perkumpulan Togale (tobelo galela) canga muda dan masih banyak lagi. Memang disadari penuh bahwa untuk ruang itu disediakan negara berkumpul dan beserikat menyatakan pendapat didepan umum atau juga sebagai alat perjuangan dalam mengawali kepentingan umat dan bangsa atau bahkan mungkin dalam konteks kultur daerah dan suku tertentu, ini semua tidak ada salahnya dalam melakoni dengan jiwa semangat pembaharu dalam pemuda membingkai sebagai agen perubahan yang terbungkus rapih dalam kemasan keindonesiaan yang hakiki. Namun dalam konteks ini yang perlu diantisipasi dan diwaspadai adalah masuknya pengaruh elit dan struktur kekuasaan dalam arus politik lokal ke dalam diri dan tubuh pemuda intu sendiri dan bahkan dalam kegiatan oraganisasi melupakan sehingga esensi awal bahwa pemuda adalah penggerak perubahan dan pendobrak stagnasi sistem politik baik nasional maupun daerah, lalu terlibat dalam praktik politik uang, fanatisme buta, politik identitas dan bahkan lebih mengerikan lagi sudah menjadi alat kekuasaan parah elit di daerah demi kelompok kepentingan maupun oraganisasi yang dikerahkan untuk tokoh politik tertentu. Akhirnya dampak dari kontaminasi ini kaum muda harus kehilangan idealismenya, sebagaimana yang pernah didengungkan oleh Tan Malaka Bahwa kemewahan terakhir yang harus dimiliki oleh seorang pemuda adalah idealisme. Bukan hanya itu saja dampak lain yang akan ditimbulkan juga adalah dekadenisi moral dan etika politik, turunnya kepercayaan masyarakat karena tidak lagi menjadi penggerak perubahan tetapi menjadi bagian dari lingkaran korup, kesewenagan, hilangnya arah tujuan politik yang sesungguhnya mampu membawa kemaslahatan dan kebaikan bersama.
Tantangan kaum muda saat ini adalah degradasi peradaban Sejarawan Kebudayaan Arnold Toynbee setelah meneliti beragam perkembangan peradaban, menulis bahwa peradaban sebuah bangsa bisa hancur oleh tiga faktor pertama gagalnya kelompok kreatif untuk menghadapi “disintegrasi” kedua penolakan mayoritas penyusun peradaban hilang dan lunturnya kohesi sosial (kepercayaan) dari masyarakat. Tantangan batu dan ujian kita saat ini adalah jalan politik yang dipilih oleh para pendiri bangsa dihayati dan diformat untuk menuju Negara sejahtera melalui bentuk Negara hukum dan sistem demokrasi yang kesadaran penuh seharusnya bahwa keduanya secara cerdas merupakan sarana paling tepat untuk kemajemukan suku dan agama di Indonesia dan kepastian hukum paling tepat untuk kesamaan perlakuan setiapp warga Negara didepan hukum, bahkan kitab suci warga Negara Indonesia dalam bernegara adalah konstitusi, kini mengalami reduksi dan pendangkalan pelaksanaannya dalam dua wajah. Pertama politik hanya dimaknai dengan rebutan kekuasaan, rebutan uang, dan aktualiasi kepentingan ego dan kelompoknya tanpa memikirkan kesejahteraan bersama apalagi kesejahteraan rakyat. Politik kedua hanya menjadi tujuan untuk mendapatkan kekayaan dan bukan sarana menata hidup bersama. Akibatnya timbul jurang antara yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kita dihadapkan pada soal hidup atau matinya akal sehat dan hati nurani manakalah negeri ini terus menerus menginjakkan keadilan dengan kekuasaan membeli dan bedaa perlakuannya antara yang punya kuas dan rakyat kecil. Mengapa peradaban seolah tak berjalan terus namun berjalan seolah mati hidup? Ini semua dikarenakan sayatan dan koyakan rasa keadilan yang menyatu akan mengaruskan dan saling bergandeng tangan untuk selagi masih bisa bergerak jadi pengadil anarki masa. Bahwa persoalan pokok bangsa ini seperti yang oleh para pendiri bangsa sudah mendidik, kita sakit mentalitas dan akal sehat yang harus dibereskan melalui pendidikan untuk mencerdasakan kehidupannya, budi dan hati nuraninya.
Irasionalitas menuju kesadaran logis untuk mencari media dialognya yaitu penataan hukum adalah musyawarah bermusyawara dengan asumsi tidak ada kategori mayoritas dan minoritas tetapi konteks menghormati pendapat yang berbeda namun satu kepentingan penyatunya yaitu “kepentingan bersama” atau kebaikan bersama (kebaikan bersama). Sebab jika rasionalitas masuk akal sehat bahwa setiap warga negara ini dijamin kemerdekaannya penalaran dan pikirannya mau dimatikan oleh logika hokum yang tidak dapat ditoleransi. Tidak hanya itu karena intoleransi pada isi pikiran sesama yang berbeda tidak ditoleransi pada tingkatan paling sederhana, yaitu “akal Sehat” biasa maka akan terjadi pembunuhan akal wijen anak bangsa karena logika intoleransi yang irasional. Sebab toleransi atas perbedaan isi pikiran adalah fitrah eksistensi hak martabat manusia yang lebih elok oleh Rocky Gerung disebut sebagai kehangatan berwarga negara
Distrust adalah krisis kita sebagai permasalahan bangsa uatamanya adalah, kenyataan minimnya dan tidak adanya teladan yang baik dari pada pemimpin kita yang sebenarnya adalah tetap primus inter pares dalam kehidupan berbangsa maupun kedaerahan sehingga sia-sialah usaha pendidikan nilai dan karakter sebagai solusi pintasnya. Permasalahan kedua gejala putus asa akan adanya perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sistem politik demokratis dengan pembaagian kekuasaan yang saling mengawasi antara eksekutif legislatif dan yudikatif, belum lagi ditambah dengan maraknya korupsi dan uang politik yang terus menggebu untuk berlomba memenuhi kepentingan ego partai politik dengan akibat mereka yang berada ditampuk kursi itu lebih banyak berkomunikasi dari menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat.
lalu bagaimana sikap kaum muda dalam menyikapi kenyataan yang sudah menjadi aturan hukum alam. Pertama, tidaklah cukup bernutrisi ketika hanya dipasang baliho, poster, iklan untuk menghimbau tetapi butuh perubahan sistem dalam proses pendidikan untuk membentuk pengetahuan yang kemudian membatinkan menjadi sikap etis hidup dan menghidupinya harus diyakini betul bahwa “exempla trahunt verba docent” teladan itu lebih penting daripada pengajaran. Kedua revitalisasi prinsip berbangsa dan bernegara baru yang berdasarkan perjalanan diatas langkahnya yaitu kemanusiaan yang adil dan beradap maka konsekuensi praktiknya atau pelaksanaannya, harus nyata nyata dari abstraksi deduktif ke induktif yaitu praksis berkeadilan untuk jong ambon, jong selebes, jong batak, jong minang,jong papua. Berkeadilan bagi Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik melakasanakan keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia. Sebab hanya dengan jalan mengubah kebudayaan, toleransi dan rasa hormat pada keragaman penyusun keindonesiaan dari ragam identitasnya etnik atau agama menuju rajutan kepercayaan bersama dalam membangun Indonesia, dan kita memulainya dari pinggiran yaitu Halmahera Selatan. Kaum mudah harus mengambil peran penting dalam membangun harapan baru dengan mentransformasi kulturalnya terhadap sejarah mentalitasnya dan penghayatan bahwa kita pernah dijajah saat ini kita memasuki era post modernis menjadi bangsa dewasa yang merdeka hati nurani dan budi menuju proses menjadi bangsa mandiri. sama yang telah diramu oleh pendiri bangsa ini yaitu Tan Malaka dalam Bukunya “madilog” jika kita mau berubah menjadi bangsa maju, haruslah mentalitas pikirnya diganti dengan materialis, yaitu memasukkan perkembangan sejarah dan mengkalkulasinya ke dalam kalkulasi materi. Dan lagi dikatakan kalau mau berubah ia harus pula menamkan sikap hidup dialektika dan bukan siklus. Artinya menalarkan refleksi realitas secara logistik, kerja keras, dan tenaga juang untuk perbaikan bersama. Satu hal yang pasti bahwa pemuda memgang tanggung jawab sebagai perubah sebagaimana fungsinya sebagai agen perubahan, bahwa perubahan itu soal harapan akan masa depan suram dan cerahnya Indonesia dan lebih khusus lagi Halmahera Selatan dimasa mendatang bergantung pada pergerekan pemuda saat ini.

