Pancasila adalah subjek pasif, Ia menjadi aktif bilamana difungsikan oleh perangkat negara dan masyarakat. Pada titik ini, implementasi pancasila bergantung pada tafsir seseorang, bahkan bisa saja kurangnya pembacaan atas nilai-nilai pancasila dalam berbangsa dan bernegara, poin terakhir diatas adalah sumber hilangnya marwah pancasila.
lima sila pancasila, dirumuskan secara sempurna oleh faunding father bangsa ini, namun tak jarang dibaca secara keliru generasi penerus bangsa, yang berakibat, hilangnya nilai-nilai pancasila dalam relasi sosial warga negara.
Pengakuan atas keberadaan Tuhan sebagai pembuka sila pertama, mensyarakatkan sila kedua, yaitu manusia indonesia yang adil dan beradab. Saya kira, kita semua mengamini bahwa, seseorang yang ber-Tuhan dan beragama memiliki ajaran agar umatnya berlaku adil dan beradab terhadap orang lain.
Baru-Baru ini, terjadi pengeroyokan mahasiswa Universitas Pamulang Tangeran Selatan, saat melakukan Ibadah Rosaria, seperti yang diberitakan Tempo, 7 Mei 2024. Peristiwa ini, saya berasumsi mereka dipresekusi karena minoritas.
Presekusi terhadap kelompok minoritas, saat melakukan kewajiban agamanya, adalah tindakan, mencederai sila pertama dan kedua pancasila. Tidak berlaku adil dengan cara-cara yang kurang beradab dalam memperlakukan kelompok minoritas, adalah wujud nyata kegagalan kita menciptakan ekosistem hubungan sosial yang pancasilais.
Menghilangkan kesadaran superioritas dan subordinasi, yang berdampak pada tindakan presekusi atas kelompok minoritas, adalah tugas yang cukup berat, karena ia merupakan warisan sejarah, namun harus dilakukan jika kita masih meyakini bahwa pancasila adalah satu-satunya filosofi bangsa.
Sejak dulu, perlakukan presekusi juga dialami Yesus, dan Nabi Muhammad. Yesus di presekusi oleh kelompok yahudi, sedangkan Nabi Muhammad di presekusi kaum Quraisy. Kedua kasus ini biarpun berbeda zaman, namun memiliki pola yang sama, yaitu menganggap orang lain lebih rendah dibandingkan kita.
Nasionalisme yang tersurat dalam butir ketiga pancasila, sering disalah maknai dalam praktek. Istilah yang paling trend, NKRI harga mati, rebagai respon mempertahankan Persatuan Indonesia, acapkali digaungkan Ormas saat menghadang Mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas atas kekacauan di Papua.
Orang papua, tidak mungkin menginginkan kemerdekaan, atau membangun gerakan separatis, jika ada kesejahteraan dalam kebersatuan. Bobon Santoso, melalui misi Kuali Merah Putih, lensa kamera mengabadikan, beta kesenjangan begitu tajam antara masyarakat papua dipegunungan dengan masyarat indonesia pada umumnya. ditengah kecepatan peradaban dunia, yang berevolusi dari satu bentuk kemajuan ke bentuk kemajuan lain, bahkan dibelahan dunia yang lain pekerjaan hampir digantikan dengan kecanggihan artificial intelligence, papua pegunungan masih bergumul dengan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang layak. miris bukan?. jadi mempertahankan Persatuan Indonesia, dengan slogan NKRI harga mati, harus di rumuskan dengan cara-cara yang tepat, sehingga kita tidak jatuh pada fanatisme nalionalis, yang bisa saja bertransformasi menjadi fasisme, baca fasisme itali.
Semua kompleksitas persoalan diatas harus ditelaah dengan hikmat dan bijaksana, seperti yang diisyaratkan butir keempat pancasila. Setiap masalah tidak bisa direspon tampa ada data dan kajian yang mendalam, karena hanya akan mendekatkan kita pada kekeliruan, dan mengabaikan subtansi persoalan.
Rasanya agak sulit wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, jika kita kandas di sila pertama sampai empat.
Pertanyaannya, sudah kita berupaya mengembalikan marwah pancasila?
Penulis : Rodi Sipondak

